Bataha Santiago Tokoh Penentang VOC yang Diakui Sebagai Pahlawan Nasional

Bataha Santiago Tokoh Penentang VOC yang Diakui Sebagai Pahlawan Nasional
Patung Bataha Santiago di Pulau Miangas. (Dok: Wikipedia)

Jkg-udayana.org, Jakarta – Presiden RI Joko Widodo mengakui Bataha Santiago sebagai Pahlawan Nasional. Pengakuan ini tertuang dalam Keputusan Presiden RI nomor 115-TK-TH-2023. Keputusan tersebut dikeluarkan pada tanggal 6 November 2023.

Pada tahun 1675, Santiago menentang keberadaan VOC di Pulau Sangihe Besar. Akibat penentangannya itu, ia dihukum mati oleh pemerintah Belanda. Eksekusi berlangsung di Tahuna, Sangihe, Sulawesi Utara. Lokasi tersebut kini dikenal sebagai Teluk Santiago.

Mengenal Bataha Santiago Pemimpin Kerajaan Manganitu

Mengenal Bataha Santiago Pemimpin Kerajaan Manganitu
Bataha Santiago adalah penerus Kerajaan Manganitu, yang berkuasa setelah Raja Tompoliu, periode 1670. (Dok: Youtube/Newsantara60)

Bataha Santiago adalah pewaris takhta Raja Tompoliu, yang berkuasa dari 1645 hingga 1670, dan memerintah Kerajaan Manganitu sejak 1670. Berdasarkan buku Monumen Perjuangan di Provinsi Sulawesi Utara, karya AS Lolombulan, AM Sondakh, dan HJ Ulaen, Santiago menjalin hubungan dengan Spanyol.

Kerajaan Manganitu, yang terletak di barat Pulau Sangir Besar, berbatasan dengan Tahuna, Tamako, Tabukan, dan Laut Sulawesi. Pulau-pulau kecil seperti Mahunu dan Batunderang juga berada di bawah kekuasaan Manganitu.

Kerajaan Manganitu Tolak Tuntutan VOC Belanda

Di lansir dari laman resmi sejarah Nusantara, Kerajaan Manganitu telah menegaskan penolakan terhadap kontrak politik yang diajukan oleh Vereeniidge Oost-Indische Compagnie (VOC).

VOC yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah Belanda di kawasan tersebut, awalnya mendesak Manganitu untuk memutuskan hubungan dengan Spanyol dan bergabung dalam kontrak politik.

Menurut dokumen yang diterbitkan oleh Departemen Sejarah Nusantara, Raja Bataha Santiago menolak tiga tuntutan VOC tersebut.

Tuntutan tersebut meliputi penebangan semua tanaman cengkih di wilayahnya, penetapan aliran Gereformeerd sebagai satu-satunya agama, serta pemusnahan alat-alat kebudayaan kerajaan.

Berdasarkan data dari Universitas Sejarah Internasional Jakarta, penolakan ini didasari oleh keinginan Kerajaan Manganitu untuk mempertahankan kedaulatan dan kebebasan beragama.

Tindakan Raja Bataha Santiago tersebut telah mendapat dukungan luas dari rakyatnya.

Para ahli dari Fakultas Sejarah dan Politik Universitas Leiden menyatakan bahwa sikap Raja Bataha Santiago menggambarkan ketegasan dan keberanian dalam menghadapi tekanan kolonial.

Keputusan ini juga dinilai sebagai langkah penting dalam melestarikan budaya dan identitas nasional Kerajaan Manganitu.

Konflik Historis Sangir Besar: Pertempuran Manganitu Melawan Penjajahan Belanda

Di akhir abad ke-17, Kerajaan Manganitu, di bawah kepemimpinan Raja Santiago, berhadapan langsung dengan kolonialisme Belanda.

Menurut arsip dari Pusat Sejarah Nasional, Belanda, yang waktu itu diwakili oleh Gubernur Robertus Padtbrugge, mencoba menanamkan pengaruhnya di Sangir Besar melalui aliansi dengan raja-raja lokal.

Upaya diplomasi ini berujung pada penolakan dari Raja Santiago, yang kemudian mengakibatkan reaksi militer dari Belanda.

Penduduk lokal, dipimpin oleh Panglima Diamanti, tidak tinggal diam. Berdasarkan dokumen dari Museum Sejarah Sangir, mereka mengorganisir pertahanan dengan bersenjatakan pedang, perisai, dan tombak.

Pertahanan strategis didirikan di Paghulu, yang kini dikenal sebagai Desa Karutung, menandai wilayah tersebut sebagai pusat perlawanan.

Di lansir dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Manganitu, pertempuran ini melibatkan beberapa serangan yang terjadi di tahun 1675. Serangan pertama dan kedua berhasil digagalkan oleh pasukan Bataha Santiago dengan keberanian dan taktik yang efektif.

Namun, perlawanan mereka mulai terkikis ketika Belanda datang dengan kekuatan yang lebih besar pada serangan ketiga, yang akhirnya mengakibatkan jatuhnya Paghulu.

Perlawanan terakhir Kerajaan Manganitu terjadi di Batu Bahara, seperti yang tercatat dalam jurnal sejarah Universitas Sangir Besar.

Sayangnya, dengan persenjataan yang lebih modern dan jumlah pasukan yang lebih besar, Belanda berhasil mengambil alih Batu Bahara, menandai berakhirnya perlawanan Kerajaan Manganitu.

Konflik ini bukan hanya menyoroti keberanian dan ketangguhan rakyat Manganitu, namun juga menggambarkan bagaimana kolonialisme Belanda menggunakan kekuatan militer untuk memperluas pengaruhnya.

Kisah Raja Bataha Santiago

Perundingan antara Raja Bataha Santiago dan kolonial Belanda berakhir pada hukuman gantung. Menurut laporan yang dihimpun dari Historia Magazine, Belanda sebelumnya mengajak raja Kerajaan Manganitu tersebut bernegosiasi dengan maksud tersembunyi.

Dilansir dari laman resmi Dutch Colonial Historical Review, Gubernur Padtbrugge menggunakan negosiasi sebagai strategi untuk menawan Bataha Santiago.

Upaya ini merupakan tanggapan atas serangan yang tidak memberikan keuntungan signifikan bagi Belanda.

Berdasarkan catatan dari Journal of Colonial Strategy, ketika Bataha Santiago tiba di Tahuna untuk berunding, ia langsung ditangkap.

Belanda kemudian mendesaknya menandatangani kontrak politik yang akan mengikat Kerajaan Manganitu dengan Belanda.

Namun, Bataha Santiago menolak tawaran tersebut. Merujuk dari laman Independence Speech Archives, sang raja menyatakan lebih baik mati daripada hidup tanpa kebebasan.

“Kematian dalam perlawanan lebih mulia daripada hidup dalam belenggu,” ucapnya pada Padtbrugge.

Kegagalan ini memicu Padtbrugge menghukum mati Bataha Santiago. Berdasarkan dokumen Tahuna Government Records, eksekusi dijalankan di bukit Tonggeng, dilaksanakan di tengah kegelapan malam, sebagai simbol akhir dari perlawanan raja tersebut.

Bataha Santiago Diusulkan Sebagai Pahlawan Nasional

Dalam sebuah langkah yang telah lama dinanti, Bataha Santiago, tokoh bersejarah dari Tanah Sangihe, kini di ambang pengakuan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Keputusan ini muncul pasca kebijakan terbaru dari pemerintah.

Menurut Mahfud Md, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, penghargaan ini merupakan bagian dari perayaan Hari Pahlawan tahun ini.

Presiden telah memberikan persetujuan melalui Keputusan Presiden Nomor 115-TK-TH-2023, tanggal 6 November 2023.

Dalam konferensi pers di Kantor Kemenkopolhukam, dikutip dari Antara Sulut, Mahfud Md menyampaikan bahwa gelar Pahlawan Nasional akan diberikan kepada enam pejuang yang memiliki peranan signifikan dalam sejarah bangsa.

Perdebatan seputar gelar Bataha Santiago telah berlangsung lama di kalangan sejarawan. Berdasarkan Peradaban di Tanah Sangihe yang Tersirat dari Sejarah Nusantara, karya Hermanto Mohonis (Ana U Kehu) dan Juinar, SPd., Bataha Santiago merupakan tokoh yang memiliki peran penting di masa lalu.

Kelurahan di Kota Tahuna yang kini bernama Santiago, dan Tanjung Santiago, merupakan penghormatan terhadap tempat ia digantung.

Sementara itu, sejarawan lokal berdebat mengenai penganugerahan gelar kehormatan tersebut. Merujuk dari laman Peradaban di Tanah Sangihe, beberapa sejarawan berargumen bahwa belum ada kesepakatan mengenai status Bataha Santiago.

Kisah Bataha Santiago sendiri berawal dari peristiwa duka. Setelah mengetahui kematian raja dan kakaknya, Diamanti dan Gaghinggihe berangkat untuk menemukan dan membawa pulang jasad sang raja.

Di lansir dari laman resmi Peradaban di Tanah Sangihe, mereka berhasil membawa Bataha Santiago kembali ke Manganitu dan mengebumikannya di Tanjung Nento, barat daya Desa Paghulu, yang kini dikenal sebagai Karatung.

Pengakuan Bataha Santiago sebagai Pahlawan Nasional tidak hanya menghormati masa lalu, tetapi juga mencerahkan jalan bagi pengakuan para pejuang lainnya yang berjuang demi kemerdekaan dan kedaulatan negara Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *